Rabu, 27 Mei 2015

CERPEN - BUPATI TERHENYAK SAAT DIDIKAN SUBUH

SHARE
Oleh: Damrus Lukman
Muaro Paneh, Sumatera Barat, Indonesia

Aulia Putri  si-Buah Salek
Dini hari menjelang pagi. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Tetesan embun bergelayut di ujung daun. Aroma rumput basah sisa hujan semalam menyiratkan harapan. Sekelompok bocah berkeredong sarung berkerumun di halaman samping sebuah rumah. Mereka gelisah menanti seorang teman yang belum juga muncul walau sudah dipanggil berkali-kali.

“Oi, cepatlah dikit, kita dah telat nih....”
Teriakan Arif memecah kesunyian memanggil temannya, lebih tepat anggotanya yang terakhir. Sudah ada lima orang anggota bersamanya ketika mendatangi rumah Anan. Tak lama Anan muncul dari balik pintu samping rumahnya sambil menggosok-gosok mata sisa kantuk yang masih belum hendak pergi menjauh darinya. Tiba-tiba, pecahlah semburat tawa Arif dan teman-temannya melihat Anan berjalan sempoyongan menghampiri mereka. Ada apa gerangan?

“Nan, amankan lah dulu perabot awak tu....”. Arif berkata pelan ketika Anan sudah mendekat. Rupanya tanpa disadari si Anan belum memakai celana ketika terbangun dari tidur dan sarung yang dibawanya juga masih tersandang di bahu. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan anggota geng kecil ini bahwa si Anan kadang masih suka ngompol dan oleh karenanya dia lebih suka tidur tak pakai celana. Dan aib kecil ini menjadi top sikrit bagi kelompok berjuluk “Tuanku Nan Renceh” ini. Anan kemudian memakai sarung sekenanya dan merapikan peci yang tadinya terpasang terbalik.

Bertujuh mereka, Arif dan Anan bersama kelima anggota lainnya, beranjak menuju jalan raya melalui gang yang agak gelap. Satu dua orang ibu-ibu bertelakung liwat hendak menuju mesjid. Dari menara mesjid sayup terdengar bacaan kitab cuci Al Quran. Dan itu pasti rekaman kaset atau CD yang diputar oleh angku Garin. Garin adalah sebutan bagi penjaga mesjid. Kadang beliau juga merangkap sebagai imam. Pasti anak yang bertugas mengaji Quran pagi ini belum datang atau sedang mengambil wudhu’.

Sampai di depan toko yang lampu depannya menyala cukup terang, Arif memberhentikan teman-taman anggota kelompoknya.
“Ayo kawan-kawan, kita rapikan pakaian dan periksa perlengkapan disini”.
Tanpa diminta, ketujuh “berandalan” kecil itu berbaris rapi sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan. Urutan itu berlaku pada semua urusan yang mengharuskan mereka berbaris, termasuk dalam shaf  bila shalat berjama’ah di mesjid atau ditempat-tempat lain. Juga berlaku kalau mereka harus antri mendapatkan bubur kacang hijau dan segelas susu seusai acara DIDIKAN SUBUH pada minggu pertama setiap bulan. Didikan Subuh adalah.... Ikhwal pemberian bubur kacang hijau dan segelas susu itu berawal dari sumbangan salah seorang jama’ah Mesjid Raya yang memberikan dana untuk kebutuhan setahun sekaligus.

Masing-masing mereka memakai ulang sarung, merapikan letak kopiah dan memeriksa kancing baju. Arif sebagai pemimpin regu memeriksa sekali lagi kerapian pakaian anggotanya. Ketika memeriksa pakaian si Anan, komanda regu itu tampak ragu. Khawatir kalau sarungnya nanti melorot dan itu pasti akan membuat heboh seluruh isi mesjid nanti. Maklum Anan tidak memakai celana.

“Kau yakin sarungmu ini ndak akan melorot nanti, Nan....?”
“Usul ndan, bagaimana kalau diikat pakai tali rafia saja”. Salah seorang anggota regu nyeletuk spontan.
“Gimana, Nan....?” kata Arif lagi.
“Mohon izin ndan. Saya akan berlari pulang memakai celana.”
Rupanya Anan tahu diri dan tak sanggup ia membayangkan bagaimana kalau sarungnya nanti bikin ulah. Pastilah akan terjadi kehebohan besar. Dan dia tidak akan sanggup menanggung malu seumur hidup bila itu terjadi.
“Baiklah, sekalian kau berwudhu’ di rumah. Nanti kami nanti kau di halaman mesjid.”
“Siap, ndan.”

Anan langsung cabut dari barisan, sekelebat menghilang di tikungan gang gelap menuju rumahnya. Sebenarnya sebutan “ndan” atau “komandan” itu bukanlah sebutan resmi dalam “adat” DIDIKAN SUBUH. Panggilan resmi kepada pemimpin regu adalah “kak” atau “kakak”. Tapi entah kenapa dengan regu yang satu ini. Arif sebagai pemimpin regu berkali-kali mengingatkan, dan bahkan mengancam akan mundur dari jabatan pemimpin regu kalau anggotanya tidak mau memanggilnya dengan “kak”. Belakangan disepakati panggilan “kak” hanya dipakai dalam kegiatan resmi yang melibatkan regu atau kelompok lain. Dalam kegiatan tidak resmi atau kegiatan yang tidak melibatkan kelompok lain, mereka menyebut pimpinannya sesuka hati masing-masing. Kadang mereka menyebut, “Siap, bos...”, “Siap, gan...”. Tentu maksudnya “juragan”.

Kini giliran memeriksa perlengkapan sesuai dengan skenario acara yang akan mereka lakonkan pagi ini. Arif menjangkau tas sandang yang tadi ditumpuk di sudut dekat pintu toko, memeriksa sekali skenaro lakon yang akan dipentaskan nanti mesjid. Tas sandang itu terbuat dari kain blacu atau kain bekas karung terigu. Bagi seluruh peserta DIDIKAN SUBUH, tas sandang itu merupakan piranti wajib dan harus dibawa kemanapun pergi. Isinya yang tidak boleh tidak adalah, Kitab Suci Al Quran, sarung, sajadah, kopiah dan tasbih bagi laki-laki. Bagi perempuan tentu telakuang atau mukenah. Sering kakak pembina DIDIKAN SUBUH mengatakan, “Kemanapun kalian pergi jangan lupa membawa tas ini. Anggap tas ini sebagai kantong ajaibnya doraemon.”

Setelah semua dianggap beres, Arif berujar kepada anggota regunya, “Teman-taman, hari ini regu Tuanku Nan Renceh akan menjalankan tugas mulia, mengisi acara DIDIKAN SUBUH sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan. Kita sudah melatihnya berkali-kali. Dan kita yakin bisa melakukannya dengan baik.

“Kalian siap...?” katanya dengan tegas.
“Siap, Sarsan.....” jawab mereka serempak.
“Oh ya, mungkin di tempat berwudhu’ nanti terlalu ramai. Kita berwudhu’ di rumah etekku di bekalang mesjid. Ada pertanyaan...?”
“Siap, kopral....!!!” Wah, turun lagi pangkat komandan yang satu ini. Tadi bilangnya, Siap, Sarsan...!!! Suka-suka mereka lah. Akhirnya mereka bubar dan bergegas menuju mesjid.

---oo0oo---

Arif dan kawan-kawan masuk kedalam mesjid dengan berbaris rapi sesuai dengan urutan masing-masing. Pas di pintu mereka terdiam sejenak. Sang Kopral memimpin prajuritnya berdoa, “Allahummaftahli abwaba rahmatika ya arhamarrahimin...” Mereka masuk dengan tenang, berbaris mengambil shaf, meletakkan “kantong ajaib doraemon” di bagian depan dan masing-masing menunaikan shalat sunat tahyatul mesjid. Di dalam mesjid sudah ada beberapa kelompok anak yang sudah lebih dulu masuk. Mereka berbaris rapi dalam shaf menghadap kiblat. Ada yang sedang shalat sunat, ada yang sedang memilin-milin tasbih sambil berzikir. Ada pula yang sedang membaca al Quran tanpa suara. Hening.... Padahal disana sudah ada seratusan anak yang duduk berbaris rapi sesuai kelompoknya masing-masing. Keriuhan kecil hanya terdengar dari tempat berwudhu’ dan halaman mesjid. Beberapa regu sedang mengapelkan anggotanya sebelum masuk. Keriuhan itu tidak sampai mengusik keheningan di dalam ruang mesjid.

Tak lama kemudian waktu subuh masuk. Seorang anak berdiri menghampiri microphone. Azan pun berkumandang. Merdu, syahdu, mendayu-dayu. Menggema dari puncak menara mesjid. Rupanya yang bertugas menjadi mu’azzin kali ini si Alif, seorang anak usia sebelas tahun. Dia telah hafal enam juz al Quran, telah mengusai empat ragam qiraat. Soal azan, si Alif dapat menirukan dengan persis irama azan dari berbagai mesjid ternama, seperti Mesjid al Haram di Mekah, mesjid Nabawi di Madinah, mesjid al Azhar di Mesir dan lainnya. Setiap lafaz azan disambut dengan gemuruh lembut oleh seluruh jama’ah. Seusai azan, serentak anak-anak dan jamaah lainnya berdiri hendak menunaikan shalat sunat  subuh dua rakaat. Anak-anak yang tadinya duduk berbaris sesuai kelompoknya masing-masing, menggeser sedikit-sedikit sehingga membentuk shaf panjang mengikut lurusnya hamparan sajadah. Tanpa suara sama sekali, senyap....  Padahal di dalam ruangan utama mesjid itu tidak kurang dari tiga ratus orang, dua ratus di antaranya adalah anak-anak, bersiap menunaikan shalat.

“Allahu Akbar.” Imam memulai shalat subuh berjamaah dengan takbiratul ihram. Suara baritonnya lembut, empuk. Irama bacaannya sederhana. Mirip suara dan irama Sheikh Mahmood Al Husairi. Rakaat pertama imam membaca surat Al A’la dan rakaat kedua surat Al Insyirah. Usai shalat, sang Imam memimpin zikir dan doa sebagaimana biasanya.

Tanpa ada yang mengomandoi, begitu usai berdoa, ratusan anak-anak itu seolah membubarkan diri dari barisan masing-masing, namun dalam hitungan detik mereka telah duduk kembali dalam barisan berbentuk angkare. Delapan kelompok dalam dua baris  menghadap arah kiblat, enam kelompok dalam dua baris di sebelah kanan  dan yang lainnya di sebelah kiri dengan jumlah yang sama.

Demikian pula anak-anak perempuan membentuk barisan serupa dibagian belakang, di tempat jamaah kaum ibu. Tabir pembatas pun dikuakkan. Pembimbing utama dan kakak-kakak pembimbing lainnya mengambil tempat di tengah-tengah barisan angkare agak kebelakang. Angku Garin, memindahkan standar microphone dari mihrab ke tengah. Acarapun siap dimulai.

Tiba-tiba Pembimbing Utama berdiri menghampiri seorang jamaah di belakang bagian kiri barisan anak-anak. Setelah bersalaman, terlihat kedua orang itu berbicara pelan. Sepertinya sang guru mengajak tamu itu untuk duduk di depan. Tapi dia menolak dengan halus dan mempersilahan untuk memulai acara. Pembawa acara yang sudah berdiri di depan microphone tertahan untuk memulai acara karena “gurunya” belum duduk di tempat sebagaimana biasanya. Begitulah “adat” yang berlaku lazim di DIDIKAN SUBUH ini. Sang guru kembali ke tempat semula dan memberi isyarat kepada Pembawa Acara agar mendekat, kemudian membisikkan sesuatu dan mempersilakan untuk memulai acara.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh....” Pembawa acara mengucapkan salam dengan mantap dan bersemangat, dan dijawab serentak oleh seluruh hadirin dengan bersemangat pula. Setelah bertahmid memuji Allah, bershalawah ke haribaan Rasulullah dan menyampaikan rasa syukur atas segala rahmat anugrah Allah, pembawa acara menyampaikan salam hormat kepada ibu/bapak, para guru, para pembimbing dan hadirin sekalian.

“Para hadirin yang dimuliakan Allah, pagi ini adalah pagi yang spesial dan istimewa bagi kita. Atas izin Allah, telah hadir di tengah-tengah kita, Bapak Bupati beserta Ibu dan beberapa orang anggota rombongan beliau. Dengan penuh kebanggaan dan kehormatan kami undang Bapak Bupati untuk mengambil tempat di tengah-tengah kami.”

Bapak Bupati tampak ragu, menengok kekiri dan kekanan. Akhirnya dia berdiri perlahan dari tempat duduknya, mengisyaratkan salam ta’zim dengan merapatkan kedua belah telapak tangan di depan dadanya, berjalan perlahan ke tengah barisan anak-anak. Pembimbing Utama berdiri menyambut dan mempersilakan beliau duduk di sebelahnya.

Pembawa acara pun memulai acara secara resmi dengan ucapan basmalah. Acara mengalir dengan lancar. Diawali dengan pembacaan al Quran oleh seorang anak berumur empat tahun. Masih cadel namun dapat melafalkan ayat al Quran dengan fasih. Acara berlanjut sebagaimana yang diprogram sebelumnya. Ada pembacaan shalawat, bacaan asma’ul husna, pidato atau ceramah agama dengan bahasa Arab dan Inggris. Azan dengan berbagai irama dan lain sebagainya. Yang istimewa dan menarik dari penampilan anak-anak itu adalah setiap akan tampil, mereka selalu mengisyaratkan salam hormat dan ta’zim kepada kakak pembimbing dan orang tua yang hadir dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada dan sedikit merendahkan badan. Begitu adab yang dilatihkan kepada mereka secara terus menerus, sampai akhirnya mereka terbiasa.

“Bapak Bupati dan HadiriN yang dimuliakan Allah.... Kini sampailah kita ke acara puncak kegiatan kita hari ini, yaitu simulasi shalat masbuq. Kepada regu Tuanku Nan Renceh yang akan memperagakan simulasi ini, kami persilakan .....”

Arif, Anan dan kawan-kawan berdiri serempak dari tempat duduk semula, kemudian memberi isyarat salam hormat dan berpindah tempat ke tengah-tengah barisan. Arif memindahkan standar microphone agak ke pinggir dan siap memulai acara. Setelah mengucap salam, tahmid, dan shalawat serta salam hormat kepada hadirin, Arif mulai membacakan narasi.

“Kira-kira pukul dua siang, seorang laki-laki datang ke sebuah mushalla hendak menunaikan shalat.”
Ali, salah seorang anggota regu Tuanku Nan Renceh maju mengambil tempat, diam sejenak dan mengangkat tangan, takbiratul ihram.
“Tak lama kemudian datang seorang lagi, juga hendah shalat.” Arif melanjutkan narasinya.
Seorang anak tampil, berdiri di samping kanan agak ke belakang dari Ali. Dia menyentuh pundak Ali dengan lembut sebagai isyarat bahwa dia ingin mengikut Ali sebagai imam. Setelah tidak ada reaksi dari Ali, anak yang datang belakangan pun bertakbir.

“Perhatikan, ketika orang kedua datang, dia menyentuh bahu orang pertama sebagai isyarat bahwa dia ingin menjadi makmum dari orang pertama. Orang pertama tidak memberi isyarat apapun, itu berarti dia bersedia diikuti sebagai imam. Apabila orang pertama tadi memberi isyarat dengan menjatuhkan tangan kanannya, berarti dia tidak boleh diikuti.”

Agak panjang Arif memberi komentar kali ini namun tetap lancar karena telah diulang-ulang menghafalnya lebih dari seratus kali.  Shalat berjama’ah dengan satu imam dan satu makmum tetap berlanjut. Ketika imam hendak ruku’ datang seorang lagi bergegas berdiri persis di belakang imam dan bertakbir, kemudian langsung ruku’. Ketika itu imam sudah bangkit i’tidal dan Ali menggeser selangkah ke belakang hingga sejajar dengan makmum yang baru datang. Arif melanjutkan narasinya.

“Hadirin sekalian, perhatikan..... Ketika orang ketiga datang, dia takbiratul ihram dan langsung rukuk’ mengikut imam. Namun pada saat bersamaan imam telah bangkit i’tidal sehingga si makmum masbuq ini tidak sempat ruku’ bersama-sama dengan imam. Itu berarti dia telah terlambat satu rakaat. Nanti di akhir shalat dia harus menambah satu rakaat lagi.”

Shalat terus berlanjut. Pada rakaat kedua datang seorang anak lagi, dia mengambil tempat di sebelah kiri. Kini makmum menjadi tiga orang. Ketika imam memberi salam ke kanan dan ke kiri sebagai tanda shalat sudah berakhir, dua orang anak yang datang belakangan tadi bangkit berdiri menambah satu rakaat lagi. Anak yang berdiri sebelah kiri mundur setengah langkah. Arif, sebagai sutradara lakon ini meneruskan narasinya.

“Hadirin sekalian, walau shalat berjamaah telah selesai, makmum masbuq itu masih tetap bisa meneruskan jamaahnya sampai selesai seluruhnya.”

Setelah shalat berjama’ah itu selesai, Arif mengakhir perannya dengan berujar, “Demikianlah, simulasi shalat berjamaah dengan beberapa variasi masbuq atau makmum ketinggalan beberapa rakaat dari imam. Sekian dari kami, regu Tuanku Nan Renceh. Terima kasih dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Bergemuruh gema jawaban salam dari seluruh hadirin, diiringi tahmid dan tasbih. Mereka terpukau dengan penampilan regu Tuanku Nan Renceh. Satu dua orang anak seperti hendak bertepuk tangan, tapi urung dilakukan setelah sadar bahwa salah satu pasal adab dalam mesjid tidak boleh bertepuk tangan. Arif dan kawan-kawan undur diri kembali ke tempat duduk semula. Bapak Bupati beserta hadirin yang lain mengikuti pergerakan sopan anak-anak ini dengan pandangan kagum penuh rasa syukur.

Pembawa acara kembali berdiri mengangkat standar microphone ke tengah, menyesuaikan ketinggiannya, mendehem sedikit dan melanjutkan acara.

“Saya kehabisan kata-kata untuk mengomentari penampilan regu TNR ini. Regu ini memang aneh, suka kontroversial, dan sedikit agak nakal, bak pepatah orang tua kita; co si ganjua lalai, pado pai suruik nan labiah. Tapi kalau sudah in action, tabujua lalu, tabalintang patah. Alhamdulillah.....”

Berdengung kembali suara tahmid dan tasbih dari seluruh yang hadir.
“Sekarang kita ikuti petuah dan nasehat dari kakak Pembimbing Utama kita. Kakak Faisal Said, dipersilakan.”

Kak Faisal berdiri, mengisyaratkan salam hormat kepada Bapak Bupati dan melangkah anggun menuju microphone. Tiba-tiba seorang anak perempuan berdiri pas sejajar dengan tabir pembatas ruangan, mengisyaratkan salam hormat dan berkata, “Mohon izin kak, regu Siti Maryam dan regu Fatimah Az-Zahrah mohon undur diri untuk melaksanakan tugas lain.”
“Silakan....” jawab Kak Faisal.

Anak perempuan tadi kembali unjuk salam ta’zim. Dua regu anak-anak perempuan berdiri dengan tenang, beranjak perlahan menuju serambi mesjid. Kemudian kedengaran gemericing gelas dan sendok. Rupanya mereka bertugas mempersiapkan santapan bubur kacang hijau.
Kak Faisal melanjutkan pidatonya. Setelah mengucap salam, bertahmid, bershalawat dan menyampaikan penghormatan kepada hadirin beliau berujar, “Pagi ini kita memperoleh kehormatan dengan kehadiran Bapak Bupati di tengah-tengah kita. Saya tidak akan memberikan wejangan panjang lebar. Nanti kita mintakan nasehat dan tausiah dari beliau. Saya hanya ingin melaporkan perkembangan kegiatan Didikan Subuh di Mesjid Raya ini.”

Berhenti sejenak untuk menarik perhatian seluruh peserta didik dan jama’ah yang hadir.
“Bapak Bupati, Yth......” Dia melanjutkan.
“Kegiatan Didikan Subuh ini sudah berlangsung sejak lama, namun timbul tenggelam bagai pasang surut mengikuti dinamika kehidupan masyarakat dalam nagari. Sejak dua tahun yang lalu, berawal dari kekhawatiran terhadap perkembangan watak dan akhlak anak-anak dan remaja kita, sebagai akibat kemajuan teknologi dan informasi yang disikapi oleh kebanyakan masyarakat secara salah kaprah, kegiatan Didikan Subuh di setiap minggu pagi digiatkan kembali. Dengan mengadopsi beberapa prinsip dasar dan metoda kepramukaan, kegiatan ini dirancang, diorganisir dan dikendalikan sedemikian rupa sehingga lebih menarik. Sebagaimana yang Bapak lihat, tidak kurang dari dua ratus anak berkumpul dalam mesjid ini dengan tertib, tidak berisik dan mengikuti rangkaian kegiatan dengan antusias. Kegiatan ini tidak melulu dilaksanakan dalam mesjid. Kadang di halaman, di lapangan, di pinggir kali, bahkan di sepanjang jalan. Tujuannya adalah pembentukan karakter dan pemuliaan akhlak dengan membiasakan berbuat baik setiap hari. Kegiatan ini juga diintegrasikan dengan kegiatan tahfiz al Quran di mesjid ini.”

“Bapak Bupati dan hadirin yang saya hormati. Sejak setahun yang lalu, sejalan dengan program pemerintah daerah tentang perbaikan gizi masyarakat, kami menambahkan kegiatan Didikan Subuh ini dengan pemberian makanan tambahan kepada anak-anak peserta didik berupa bubur kacang hijau dan segelas susu sebulan sekali. Mulanya program pemberian makanan tambahan ini berjalan tersendat. Kami para pembimbing, bersama Pengurus Mesjid harus bergerilya setiap minggu untuk mencari ibu-ibu yang bersedia menyumbangkan sekian ratus mangkok bubur kacang hijau siap saji berikut sekian ratus gelas susu. Alhamdulillah, atas izin Allah, sejak setahun yang lalu ada seorang jama’ah yang tidak mau disebut namanya menyumbangkan dana untuk kebutuhan setahun. Dan hari ini adalah hari terakhir kita dapat menikmati makanan tambahan sumbanagan hamba Allah itu. Untuk bulan depan kami harus berjibaku kembali mencari donatur.”

Beliau diam lagi sejenak, seolah mengajak hadirin untuk berfikir bagaimana cara melanjutkan kegiatan pemberian makanan tambahan ini.
“Sekaligus pada kesempatan ini kami memohon kepada jamaah Mesjid Raya, tentunya juga kepada Bapak Bupati untuk membantu kegiatan kami ini. Setelah ini nanti saya mohon kiranya Bapak Bupati berkenan memberi wejangan dan nasehat kepada kami semua, khususnya kepada anak-anak peserta Didikan Subuh ini. Demikian sambutan saya, terima kasih dan mohon maaf. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”
Serempak anak-anak beserta jama’ah lainnya menjawab salam. Belum sempat Ustaz Faisal duduk, seorang jama’ah setengah baya angkat tangan.
“Baraa biaya bubua kacang ijau tu sabulan, Buya?
Belum dipersilakan bicara orang itu langsung nyerocos. Sebutan buya memang lazim bagi para ustaz atau mubalig di kampung ini. Sang buya kembali ke arah standar microphone dan menyebutkan jumlah rupiah yang dibutuhkan.
“Kok nyak itu den ambiek tigo bulan.”  Katanya.
“Den duo bulan.” Kata yang lain.

“Ambo ambiek untuak sabulan.” Ibu-ibu yang langganan bersandar di tiang tengah mesjid tak mau ketinggalan. Beberapa orang lain bersahutan. Ada yang dua bulan, dua bulan dan sebagainya. Kak Faisal memberi isyarat kepada Pembimbing lain untuk mendekati jamaah yang berniat menyumbang tadi. Kakak Pembimbing perempuan juga ada yang berdiri. Setelah kedua Pembimbing tadi menyerahkan catatannya, Kak Faisal kembali ke microphone.

“Alhamdulillah, Subhanallah......Segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah. Terima kasih saya haturkan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang telah menyatakan kesediaannya untuk memberikan bantuan. Jumlahnya cukup untuk tiga belas bulan. Nanti kami akan datang kepada Bapak dan Ibu untuk menindak lanjutinya. Sekali lagi terima kasih. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kak Faisal menyudahi sambutannya dan memberi isyarat kepada pembawa acara untuk melanjutkan.

Pembawa acara berdiri dan melanjutkan:
“Hadirin sekalian, sebagaimana disampaikan oleh Kak Pembimbing Utama tadi, sekarang mari kita ikuti bersama amanat Bapak Bupati. Kepada beliau saya persilakan.”
Bapak Bupati menengok ke arah Kak Faisal. Kak Faisal mempersilakan dengan isyarat. Beliau berdiri sambil memberi isyarat salam hormat kepada seluruh hadirin. Setelah berdiri di belakang standar microphone beliau mengedarkan pandangan berkeliling dan memulai sambutannya dengan mengucap salam, tahmid, shalawat dan menyampaikan salam penghormatan kepada hadirin.
“Kini giliran saya yang kehabisan kata-kata untuk mengungkap perasaan melihat ketulus-ikhlasan Bapak dan Ibu jama’ah Mesjid Raya ini dalam memberi sumbangan. Saya sudah tidak kebagian.”
Sejenak Bupati menengok ke arah Kak Faisal.

“Gimana ni Buya, apa lagi yang bisa saya bantu,” katanya.
Kak Faisal hanya tersenyum, tidak menyahut.
“Baiklah....,” beliau melanjutkan.
“Tadi kan sudah ada untuk tiga belas bulan. Saya genapi untuk kebutuhan setahun tapi pemberian makanan tambahan bukan sekali sebulan, tapi dua kali sebulan. Berarti setiap dua minggu sekali. Nanti biar dikoordinasikan dengan Ibu, masukkan ke dalam kegiatan PKK.”
“Hadirin sekalian, saya tidak akan berpidato panjang-panjang. Saya ingin berdialog dengan anak-anak disini. Mana tadi pemimpin regu Tuanku Nan Renceh, coba berdiri.”

“Siap, Pak Bupati,” katanya tegas setelah berdiri.
“Siapa itu Tuanku Nan Renceh....? tanya pak Bupati.
“Siap, pak.... Nama kecil beliau Abdullah, lahir di Nagari Kamang tahun 1780. Wafat sebagai syahid dalam perang Padri antara tahun 1803 – 1838. Beliau adalah panglima perang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol.” Tegas dan lancar Arif mencawab pertanyaan Bupati.

“Terus, kenapa kalian menamakan diri regu Tuanku Nan Renceh? Tanya Bupati lagi.
“Siap, pak.... Beliau adalah ulama terkemuka dan panglima perang yang gagah berani, walau sedikit nyentrik dan berani tampil beda untuk kebaikan. Kami ingin menjadikan beliau sebagai idola dan teladan, selain Rasulullah Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam.” Bapak Bupati kekesima dengan jawaban Arif.

“Subhanallah....., bukan main. Sungguh saya bangga melihat anak-anak setegas dan secerdas ini. Baik, terima kasih dan silakan duduk kembali.”
“Siap, pak.....! katanya tegas sambil unjuk salam hormat dengan kedua telapak tangannya, kemudian duduk kembali dengan sopan.

“Sekarang saya minta seorang anak perempuan, yang itu, yang pakai kerudung kembang warna biru.”
Pak Bupati menunjuk seorang anak perempuan. Anak yang ditunjuk menengok kiri kanan, tidak yakin dia yang ditunjuk Bupati. Setelah yakin bahwa dia yang dimaksud, anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun itupun berdiri dengan sikap sempurna dan memberi hormat.

“Siap, pak.... ! ucapnya lantang dari barisan perempuan.
“Sebutkan nama, siapa idolamu dan apa saja yang kamu peroleh dalam Didikan Subuh ini.”
“Siap, pak.... Nama saya Aulia Putri binti Abdurrahman. Idola saya adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar, istri tersayang baginda Muhammad Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam. Yang saya dapatkan dalam Didikan Subuh ini diantaranya, saya semakin sayang, hormat dan patuh kepada orang tua, semakin sopan, hormat dan patuh kepada guru. Sekarang saya telah hafal tiga juz al Quran dan nilai saya di sekolah selalu meningkat.” Lancar dan tegas dia menjawab. Bupati menatap nanar ke arah anak itu, sesekali dia menggeleng dan mengangguk tanda ta’jub.

“Sekarang, apakah Ayah dan Ibumu ada di tengah-tengah kita?” tanya Bupati lagi.
“Siap, pak.... Ayah saya ada, tapi Ibu sudah tiga hari ini sakit. Sekarang terbaring lemah tak berdaya di rumah.” Nada suaranya agak merendah ketika mengatakan bahwa ibunya sakit.
“Terus, sudah dibawa ke Puskes? Tanya pak Bupati lagi.
“Belum, pak....” jawabnya lirih, namun cukup terdengar oleh semua yang hadir di mesjid itu.
“Kata ayah, kita ndak punya uang untuk membawa ibu berobat.” Suara anak semakin lirih, mengaduk-aduk perasaan setiap orang yang mendengarnya.

“Ya sudah. Terima kasih. Kamu boleh duduk kembali.”
“Siap, pak.... Terimakasih kembali.” Aulia kembali duduk setelah mengisyaratkan salam hormat.
“Mana orang tua Aulia, coba kesini!”
Pak Bupati mengedarkan pandangan sekeliling mencari-cari keberadaan ayah Aulia. Seorang bapak paro baya berdiri perlahan, memperbaiki sarungnya dan berjalan ragu ke depan. Mengenakan kemeja panjang lusuh hingga tak jelas lagi warnanya. Ujung lengan baju tidak dikancingkan. Kopiahnya juga sudah lusuh. Entah hitam, entah abu-abu, entah coklat. Angku Garin spontan mengambilkan microphone satu lagi dan menyerahkan kepada bapak itu. Dia berdiri agak jauh dari pak Bupati. Pak Bupati mencabut mic dari standarnya, mendekati si bapak dan merengkuh bahunya. Si bapak agak gemetar dan merendahkan badan seperti orang ketakutan.

“Sini..... “ Pak Bupati membawa si bapak agak ke tengah.
“Siapa nama Bapak...?”
“Si Raman, pak. Raman Bewok” jawabnya perlahan.
Rupanya bapak Abdurrahman ini biasa dipanggil si Raman Bewok. Suatu kebiasaan di kampung, menambahkan nama panggilan dengan sapaan yang unik. Mungkin untuk membedakan satu dengan lainnya, karena ada beberapa orang yang bernama Raman. Ada Raman Kompoang karena salah satu jari memang terpotong kena kampak. Ada Raman Itiek, karena pekerjaannya gabalo itik.

“Benar si Aulia itu anak Bapak? Berapa orang semua?” tanya Bupati setelah berdiri agak ke tengah.  Nampaknya si bapak sudah mulai tenang, tidak seperti orang ketakutan lagi.
“Benar, pak.... Si Aulia itu anak bungsu, satu-satunya perempuan. Semua ada empat. Tiga sudah berkeluarga dan pergi merantau.” Jawabnya lengkap.

“Kalau begitu si Aulia ini buah salek ya....?” tanya Bupati lagi, agak bagarah. Buah salek adalah sebutan bagi anak bungsu yang usianya jauh  berjarak dengan kakaknya. Si Bapak hanya tersenyum merunduk.

“Apa pekerjaan Bapak dan Ibu sehari-hari?” maksudnya pekerjaan si Bapak dan isterinya.
“Narimo upah pangkue, pak. Rang rumah narimo upah batanam jo basiang. Kadang pai mangirai.”
Rupanya si Raman Bewok dan keluarganya ini adalah buruh tani. Menerima upah mencangkul di sawah atau di ladang. Istrinya menerima upah bertanam dan bersiang padi. Mangirai adalah memunguti bulir-bulir padi yang tersisa di tangkai jerami setelah ditongkang.

“Masya Allah....” pak Bupati mendesah.
“Terus, sekarang apa harapan Bapak terhadap Aulia?”
“Entahlah, pak....” giliran si bapak yang medesah.
“Apakah orang seperti kami ini masih bisa berharap?”
Agak puistis kali ini ungkapan si bapak. Bupati menatap nanar rakyatnya yang masih hidup jauh di bawah garis kemiskinan ini. Tak sanggup ia berkata-kata lagi. Si Bapak meneruskan,

“Sebenarnya saya ingin si Aulia bersekolah tinggi dan pandai mengaji. Kakak-kakaknya tidak ada yang bersekolah. Tapi apakah mungkin. Kami sudah semakin tua. Tenaga sudah tidak sekuat dulu lagi. Bukik lah taraso tinggi, lurah lah taraso dalam.”
“Baiklah..... terima kasih, pak. Silakan duduk kembali”

Bupati mengulurkan tangan menyalami rakyatnya. Si bapak menjabat tangan bupati dengan  sikap agak merunduk tanda hormat. Kedengan suara “klik” dan lampu kilat kamera menyala menyilaukan mata. Rupanya ada salah seorang ajudan Bupati yang siap sedia mengabadikan momen-momen penting kegiatan junjungannya. Si Bapak berbalik menyerahkan mic ke Angku Garin yang duduk tak jauh darinya dan kembali ketempat duduk semula.

“Hadirin sekalian.....” Bupati meneruskan pidatonya.
“Sungguh saya tidak mengira, bahwa di dalam mesjid ini saya ditegur oleh Allah. Telah empat tahun saya menjabat Kepala Daerah, ternyata masih ada rakyat saya yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan. Ampuni saya ya Allah....”
Beliau menadahkan tangan memohon kepada Allah.
“Tolong, ajudan..... nanti koordinasikan dengan Kabag Kesra dan Kepala Dinas Pendidikan. Kita berikan bea siswa penuh kepada Aulia, minimal sampai tamat SLTA. Dan apabila Aulia nanti tamat SLTA dan hafal Quran 30 juz, saya pribadi akan mengirimnya kuliah ke Mesir. Doakan kita dipanjangkan umur dalam kebaikan. Gimana, Aulia mau?”

Aulia tidak menjawab. Dia tersungkur sujud, berurai air mata. Bahunya terguncang menahan isak. Hadirin terpaku diam, hening.

“Satu hal lagi, ajudan.....  Tolong hubungi dokter Puskes. Setelah acara ini kita berkunjung ke rumah Aulia.”

Pak bupati melanjutnya pidatonya, menyampaikan beberapa hal. Tak lama kemudian beliau mengakhiri sambutannya. Pembawa acara melanjutkan acara dengan doa penutup yang dipimpin oleh Imam Mesjid Raya.

Acara selesai, hadirin mulai beranjak satu persatu. Beberapa orang mendekat ke depan bersalaman dengan pak Bupati. Anak-anak tetap duduk manis menunggu aba-aba dari pemimpinnya. Salah seorang Kak Pembimbing meraih microphone, menyampaikan pengumuman agar ibu-ibu mengambil makanan di serambi samping kiri mesjid dan bapak-bapak di sebelah kanan. Kemudian kepada pemimpin regu dipersilakan mengambil jatah regunya di tempat yang sudah ditentukan. Bapak Bupati beserta rombongan diiringi oleh Pembimbing Utama, Imam Mesjid dan beberapa pemuka masyarakat dipersilakan menuju ruangan di samping mihrab. Disana telah terhidang bubur kacang hijau dalam mangkok berikut sebotol air mineral.
SHARE

Author: verified_user

Penulis lepas, guru ngaji, da'i dan aktifis sosial

1 komentar:

  1. Kak Idam (Damrus Lukman)14 Februari 2024 pukul 17.53

    Alhamdulillah, rupanya ada yang meng-upload tulisan saya tentang Didikan Subuh di blog ini. Terima kasih dan salam kenal dari saya.

    BalasHapus